ISLAM WETU TELU:
DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA SASAK
(PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS)
By: AM. Maqdum
Biahmada, Abdul Majid, Hermi Ismawati dan Nurul Imamah Aini
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Antara agama
dan budaya sama-sama melekat pada diri seseorang beragama dan di dalamnya
sama-sama terdapat keterlibatan akal fikiran mereka. Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal,
praktik agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya.
Kebudayaan sangat berperan penting di dalam terbentuknya sebuah praktik
keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan bermacam-macam
agama, kebudayaan inilah juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka
ragam praktik beragama dalam satu payung agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang dengan agama yang
sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan agama, khususnya
ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam suatu komunitas agama ini
mudah kita dapati dalam setiap masyarakat, dengan terbentuknya berbagai
macam kelompok agama[1].
Islam Wetu Telu yang sebagian
besar adalah masyarakat pedesaan yang terisolir dan terbelakang dalam
kehidupan. Mereka pada umumnya berdomisili di bagian utara dan
selatan pulau Lombok. Namun penganut Islam Wetu Telu
yang
masih dapat bertahan sampai saat ini hanya di bagian utara pulau
Lombok, tepatnya di desa Bayan Kabupaten Lombok Barat dan sekaligus
menjadi pusat Islam Wetu Telu.[2]
Wetu Telu ini
merupakan praktik agama yang unik, yang sebagian masyarakat suku Sasak yang
mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik
unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha
mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap,
meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat
ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada
generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para
pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.[3]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Sejarah
Islam Wetu Telu?
2.
Bagaimana
Filosofi Islam Wetu Telu?
3.
Bagaimana Pengaruh
Islam Wetu Telu terhadap Masyarakat Bayan?
4.
Bagaimana Islam
Wetu Telu pada Era Sekarang?
5.
Bagaimana
Dialektika Islam dan Budaya Sasak?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk megetahui
Sejarah Islam Wetu Telu.
- Untuk
mengetahui Filosofi Islam Wetu Telu.
- Untuk
mengetahui sejauh mana Pengaruh Islam Wetu Telu terhadap Masyarakat Bayan.
- Untuk
mengetahui posisi Islam Wetu Telu pada Era Sekarang.
- Untuk
mengetahui Dialektika Islam dan Budaya Sasak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Islam Wetu Telu
Diketahui
bahwa penduduk Lombok Barat mayoritas beragama Islam kecuali suku Bali yang
memeluk agama Hindu dan Budha. Sebagian kecil pada umumnya penduduk pendatang
adalah pemeluk agama Katulik dan Kristen. Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau
Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu.
Masuknya
agama Islam di Lombok tidak diketahui dengan pasti siapa yang membawa pertama
kali. Ada dua versi yang menyebutkan bahwa agama Islam memasuki pulau Lombok
dalam dua aliran sebagai berikut:
1) Dari Makasar lewat Sumbawa kira-kira permulaan abad XVI
yang dibawa oleh Sunan Perapen putra dari Sunan Giri. Ajaran ini masuk melalui
labuhan Lombok.
2) Dari pulau Jawa lewat Bayan atas instruksi Sunan
Penggiang dari Jawa Tengah kira-kira permulaan abad XVI.
Terlepas
dari adanya perbedaan tentang siapa yang membawa agama Islam ke Lombok, yang
jelas masuknya Islam melalui dua aliran itu membawa suatu efek yang kurang baik
dalam perkembangan selanjutnya. Sacara tidak langsung Islam pecah menjadi dua aliran
yaitu Islam Waktu lima dan Islam Wetu Telu. Islam
Wetu Telu berpusat di daerah Bayan sampai sekarang.
Asal
usul terbentuknya Islam Wetu Telu dibayan
sampai saat ini juga masih merupakan misteri, kapan dan
siapa yang menamakannya pertama kali. Ada
beberapa versi tentang latar belakang munculnya
Islam Wetu Telu sebagai berikut. Sebuah versi
menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu
terbentuk bersamaan dengan
penyebaran Islam di Lombok. Sebelum
tuntas mengajarkan Islam,
penyebarnya (wali atau muridnya) dengan sebab
yang tidak diketahui meninggalkan
Lombok, akibatnya masyarakat yang
masih menganut agama Hindu dan
Animisme tidak sepenunhnya mampu menyerap
ajaran Islam. Maka mereka memadukan Animisme, Hindu dan Islam
menjadi satu. Perpaduan inilah yang kemudian disebut dengan Islam Wetu
Telu. Sesungguhnya penganut Islam Wetu Telu itu sebelah
kakinya di Islam
dan sebelah lagi Hindu dan Animisme.
Dengan
nada yang sedikit berbeda, juga diungkapkan oleh Solichin Salam bahwa
dalam menyebarkan Islam, para wali mengajarkan secara bertahap, sewaktu
penganut Islam Wetu Telu itu berada pada tahap transisi dari Hindu ke Islam
lalu mereka meninggalkan Lombok. Akibatnya tugas mereka belum tuntas dengan
sempurna sedangkan para murid-muridnya yang ditinggalkan tidak berani menyempurnakan
apalagi merubahnya, sehingga lama kelamaan terjadi penyimpangan dari ajaran
Islam yang murni.
Versi
lain menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu muncul karena adanya penghinduan yang dilakukan oleh
pendeta bernama Dangkian
Nirarka yang
dikirim oleh Raja Gelgel dari Bali pada tahun 1530. Dengan cerdik pendeta itu
mencoba meramu Islam, Hindu dan kepercayaan lama menjadi singkritisme.
Berbeda
dari versi sebelumnnya, Islam Wetu Telu muncul setelah Belanda menguasai Lombok tahun 1890.
Belanda mencari taktik untuk mengalahkan orang Sasak penganut Islam ortodok,
maka mereka menciptakan istilah Islam
Wetu Telu dengan tujuan untuk merusak dan mengarahkan kepada
pertentangan terus-menerus. Sementara itu Raden Gedarip mengatakan bahwa
istilah waktu dalam Islam Wetu Telu itu
salah penggunaan tetapi yang benar adalah Wetu
Telu dengan alasan bahwa Wetu berarti kemetuan dari tiga hal yaitu bertelur,
tumbuh dan beranak. Dengan tetap terpeliharanya ketiga hal tersebut maka
kesuburan dan kemakmuran di dunia ini akan lestari.
Dari
beberapa pendapat diatas, yang jelas bahwa Islam
Wetu Telu sangat berbau Islam meskipun dalam beberapa acara
ritual tampak adanya singkritisme antara agama Islam, Hindu dan ajaran Nenek
Moyang. Ketiga hal inilah yang lebih mendekati kebenaran asal-usul Islam Wetu Telu sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaludin Arzaki,
Direktur Yayasan Kebudayaan dan Pengembangan pariwisasta Nusa Tenggara Barat.
Juga versi yang menyebutkan bahwa Islam
Wetu Telu terbentuk atau muncul setelah Belanda menguasai Lombok.[4]
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut
adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut
tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut
kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya
masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat
setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada
masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para
penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa
itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau
kiai saja.[5]
Dalam dugaan
bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama
kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu
itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah
praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal
itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu di masa
modern ini.
Dalam
masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan "Waktu
Telu" sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni
animisme, dinamisme, dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut
kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya
(dikenal dengan sebutan "Waktu Lima" karena menjalankan kewajiban
salat Lima Waktu). Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah
orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris
adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup
(kematian, kelahiran, penyembelihan hewan, selamatan dll) harus diketahui oleh
kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara
tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.
Kepercayaan dan
pendapat yang menyebar pada sebagian besar dikalangan luar meyakini bahwa Wetu
Telu itu adalah ajaran agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat atau
komunitas adat Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Pandangan
masyarakat luas yang berkembang seperti ini sangat disesalkan oleh semua tokoh
adat, tokoh agama dan masyarakat atau komunitas adat Bayan pada khususnya,
terlebih secara tertulis telah dipublikasikan melalui sebuah buku yang berjudul
Satu Agama Banyak Tuhan, karya Kamarudin Zaelani yang diterbitkan oleh
percetakan Pantheon Media Pressindo bulan Maret 2007 lalu, isi yang tertuang
yang ada dalam buku tersebut dinilai sangat mendiskriditimasi komunitas adat
Bayan karena sumber yang ditemui masih sepihak dan belum memahami apa
sebenarnya Wetu Telu tersebut.
B.
Filosofi
Islam Wetu Telu
Kepercayaan
keagamaan dipusatkan atau didasarkan kepada adanya kekuatan gaib[6].
Oleh karena itu, agama sebagaimana yang biasa dipahami, adalah pandangan dan
prinsip hidup yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib yang
berpengaruh dalam kehidupan manusia[7].
Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap mensakralkan sesuatu, baik tempat, buku, orang, benda
tertentu, dan lain sebagainya[8].
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus.
Ada tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan. Ada upacara
keagamaan dalam berhadapan dengan yang sacral. Upacara perlakuan khusus ini
tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional[9].
Kalau supernatural dan sacral adalah aspek keyakinan, ritual adalah aspek
perilaku dari ajaran agama. Ketiganya menimbulkan kesan rasa atau penghayatan
ruhaniah dalam diri yang memercayai dan mengamalkan ajaran agama[10].agama
tidak ada tanpa adanya umat penganut agama tersebut. Komunitas penganut agama
terdiri dari beberapa fungsi keagamaan. Ada yang memimpin upacara, ada yang
harus berfungsi menyiapkan tempat dan alat upacara, dan sekaligus mereka
menjadi peserta upacara[11].
Islam Wetu Telu mempunyai pandangan hidup yang serba
Telu (tiga), seolah-olah angka itu merupakan angka sakral. Inilah salah satu
yang membedakan antara Islam Wetu Telu dengan Islam ortodok. Al Syahrastani
juga menganggap penting al adat (angka).
Rukun Islam yang lima oleh penganut Islam Wetu Telu
dipotong menjadi tiga yaitu syahadat, shalat dan puasa pada bulan Ramadhan.
Sedangkan rukun ke empat dan lima yaitu haji dan zakat mereka tinggalkan,
itupun tidak dilaksanakan dengan sempurna. Dalam hal puasa Ramadhan mereka
puasa hanya tiga hari pertama, tiga hari pertengahan dan tiga hari terakhir.
Istilah Wetu
Telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Komunitas Waktu Lima menyatakan
bahwa Wetu Telu sebagai waktu tiga (tiga:telu) dan mengaitkan makna ini dengan
reduksi seluruh ibadah Islam menjadi tiga. Orang Bayan sebagai penganut
terbesar Islam Wetu Telu ini, menolak penafsiran semacam itu. Pemangku Adatnya
mengatakan bahwa Wetu berasal dari kata “metu” yang berarti “muncul” atau
“datang dari”. Sedangkan “telu” artinya “tiga”. Secara simbolis makna ini
mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul melalui tiga macam sistem
reproduksi, yaitu melahirkan (disebut menganak), bertelur (disebut menteluk)
dan berkembang biak dari benih (disebut juga mentiuk). Sumber lain menyebutkan
bahwa ungkapan Wetu Telu berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu yakni
keluar atau bersumber dari tiga hal: Al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya,
ajaran-ajaran komunitas penganut Islam Wetu Telu bersumber dari ketiga sumber
tersebut.[12]
Dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, sumber
hukumnya dibentuk atas dasar tiga perkara yaitu agama, adat dan pemerintah.
Oleh karena itu dalam sistem organisasi kemasyarakatan di Bayan mempunyai tiga
lembaga yaitu: Pertama lembaga pembantu adat yang menjadi pimpinan tertinggi
desa dan biasanya dijabat secara turun temurun. Kedua pembantu pemangku adat
yang bertindak sebagai kepala urusan pemerintahan, yang tugasnya menjembatani
kepentingan adat dan pemerintah. Ketiga lembaga penghulu yang dijabat oleh
seorang kiai. Walaupun mereka mengenal tiga lembaga, seperti tersebut diatas,
namun secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu kehidupan keagamaan dan
kemasyarakatan, dengan dipimpin oleh masing-masing petugas[13].
Menurut Raden Singederia, istilah tiga dalam Islam
Wetu Telu tidak ada hubungannya dengan ritualitas keagamaan tetapi pemahaman
atas asal usul kejadian manusia. Dia percaya bahwa kelahiran manusia ke atas
dunia ini disebabkan oleh adanya tiga sumber, yaitu Tuhan, ayah dan ibu. Dan
Wetu Telu sendiri merupakan pengalaman budi pekerti dalam kehidupan
sehari-hari. Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan tiga dalam Islam Wetu
Telu dengan upacara agama, tetapi yang jelas penganut Islam Wetu Telu dalam
menjalankan upacara selalu bertumpu pada angka tiga atau tiga hal, seperti
dalam ibadah, mereka mengenal tiga macam ibadah besar yaitu Loh Langgar, Loh
Dewa (Penyembah terhadap Dewa) dan Loh Makam (penyembah terhadap leluhur). Mereka
juga hanya melaksanakan tiga macam shalat yaitu
shalat Idul Fitri, Shalat Idul Adha dan Shalat Jum’at besar. Jadi makna Telu
dalam Islam Wetu Telu mempunyai kaitan dengan asal usul kejadian manusia dan
juga erat hubungannya dengan acara ritual keagamaan yang dipercayai dan
dilakukan oleh penganut Islam Wetu Telu[14].
Terkait makna
Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu
berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan
Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang
melibatkan Pranta-pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan
Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang
tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun
juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat
berjalan dengan baik[15].
Haji Amir tokoh
adat sekaligus tokoh Agama yang juga mantan Kepala Desa Loloan, Bayan, KLU
priode tahun 1968-1998, menuturkan, “Wetu Telu itu adalah filosofi yang
diyakini komunitas adat Bayan yang memiliki arti, makna serta penjabaran yang
sangat luas dan mendalam tentang kehidupan manusia, Tuhan dan lingkungannya,
yang kesemuanya itu tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, dimana
folosofi ini juga kental dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islam. Wetu
Telu juga menggambarkan filosofi tentang “Wet Tau Telu” (tiga bagian wilayah
atau sistim Pemerintahan-red) diantaranya, Adat, Agama dan Pemerintah, ketiga
unsur ini jika dilihat berdasarkan fungsinya tidak mungkin dapat terpisahkan dimana
tugas dan fungsinya juga tidak mungkin dapat disatukan atau disamakan satu
dengan yang lainnya”[16].
Filosofi lain
juga meyakini Wetu dan Metu itu yakin adanya Tuhan, Nabi Muhammad Saw, Ibu,
Bapak, dan Anak serta menyakini adanya Nabi Adam sebagai manusia pertama yang
dilahirkan dan diturunkan kebumi. Kemudian isi bumi atau alam diyakini dilahirkan melalui tiga cara atau
tiga unsur, (Metu) yaitu, Tioq (tumbuh), Menteloq (bertelur) dan terakhir
melalui proses Beranak. Gambaran lain yang sering diucapakan dalam kehidupan
sehari-hari adalah Inaq, Amaq, Allah (Ibu, Bapak dan Tuhan) juga sebagai
ungkapan kalau sorga itu berada dibawah telapak kaki ibu, filosofi ini juga
masuk dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islama dimana semua ummat Islam
harus tunduk dan patuh terhadap ajaran tersebut[17].
Keyakinan lain
juga tergambar dari tiga aspek kehidupan yaitu Air, Agin dan Tanah, ketiga
unsur ini juga menjadi dasar utama semua mahluk hidup yang ada dimuka bumi
dapat tumbuh, hidup serta berkembang biak, apa bila ketiga elemen ini ada dan
dilestarikan[18].
Ketiga unsur
lain tentang makna serta filosofi Wetu Telu yaitu Adanya tiga unsur yang
mengayomi dan menuntun serta membina manusia atau masyarakat, yaitu dari Kyai
yang berdasarkan keturunan dan memiliki tugas khusus dibidang agama, Tokoh Adat
yang mengatur soal adat dan istiadat, dan yang terakir adalah pemerintah yang
juga khusus membidangi sistim pemerintahan[19].
C.
Pengaruh
Islam Wetu Telu terhadap Masyarakat Bayan
Dalam kehidupan beragama maupun kehidupan budaya
manusia, keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu merupakan potensi fitrah
(pembawaan) manusia, bertumbuh dan berkembang secara terpadu bersama-sama dalam
proses kehidupan manusia secara nyata di muka bumi, dan secara bersama pula
menyusun suatu sistem budaya dan peradaban suatu masyarakat
atau bangsa. Namun demikian keduanya memiliki
sifat dasar yang berbeda, yaitu bahwa agama memiliki sifat dasar
“ketergantungan dan kepasrahan”, sedangkan kehidupan budaya mempunyai sifat
dasar “kemandirian dan keaktifan”. Oleh karena itu, dalam setiap tahap/fase
pertumbuhan dan perkembangannya menunjukkan adanya gejala, variasi, dan irama
yang berbeda antara lingkungan masyarakat/bangsa yang satu dengan lainnya[20].
Islam wetu telu sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Sasak
Lombok Utara khususnya, diantaranya:[21]
1. Wet Agama
Seperti yang kita ketahui wet agama yang terdiri dari para
penghulu dan kiayi mengatur tentang proses ritual religius dan adat
agama yang merupakan faktor utama dalam kehidupan bermasyarakat.
Pentingnya wet
agama dapat dibuktikan dengan melihat posisi duduk yang terletak di
hulu selatan yang dalam masyarakat Sasak disebut bolot atas, ini
mencerminkan wet agama sebagai perantara
hubungan manusia dengan penguasa alam, wet agama yang terdiri dari kiayi,
penghulu atau toaq lokaq mempunyai peranan dalam
berbagai aktivas adat gama.
2.
Wet Adat
Dalam
pendistribusian Wet Adat bertugas untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, serta hubungan manusia dengan alam. Pembuktian hal tersebut dapat
ditinjau dari posisi letak duduk yaitu di tempatkan di tengah di sekitar tiang
yang di bungkus kain berwarna hitam. Dalam Wet Adat terdapat para pelaksananya
antara lain, Mangku Adat, Sesepuh, dan Belian (Dukun), serta Jintaka, masing-masing
tokoh tersebut mempunyai tugas yang telah di tentukan.
3. Wet Pemerintahan (Ngemong Praja)
Karena
masyarakat Sasak Lombok Utara dulunya beragama Boda yang pada fase selanjutnya
mendapatkan pengaruh dari unsur Hindu dan Islam, maka sistem kekastaan dalam
lingkungan penganut Wet Tau Telu merupakan kombinasi
dan perpaduan dari beberapa unsur dan pernik peradaban tersebut. Dipahami bahwa
setiap masyarakat ada pemimpin dan ada yang dipimpin (masyarakat). Adapun
bentuk dan pola pembagian kepemimpinan dalam pemerintahan sebagai produk sejarah
erat kaitannya dengan sistem kekastaan. Pembagian kekastaan dalam masyarakat Sasak
Wet Tau Telu terdiri dari empat marga, yaitu : Datu, Raden, Luput
dan Perjaka.
Wet Tau
Telu merupakan kearifan lokal yang berlangsung secara turun temurun
pada masyarakat Lombok Utara yang di kenal dengan “Orang Dayan Gunung”.
Pembagian kekuasaan versi Wet Tau Telu sangat tepat apabila
diterapkan pada pola pemerintahan di Kabupaten Lombok Utara karena pembagian
dan pendistribusian kekuasaan sangat jelas. Di sisi lain model pembagian
kekuasaan ini mempunyai akar sejarah, berurat dan berakar dibudaya masyarakat
adat Lombok Utara.[22]
D.
Islam
Wetu Telu pada Era Sekarang
Agama identik dengan kebenaran. Sebagai kebenaran,
agama ketika telah dipercaya oleh seseorang akan senantiasa disebarkan pada
orang lain, dengan harapan orang lain punya keyakinan
sama dengan dirinya. Ada naluri dari setiap manusia untuk mengkomunikasikan
ide-ide kebenaran yang ada pada dirinya melalui komunikasi. Karena setiap
manusia telah bertuhan, maka yang terjadi adalah komunikasi timbal balik
seputar agama yang diyakini maisng-masing. Dalam dunia
beragama, setiap agama yang ada dunia senantiasa ingin mengajakkan agamanya
kepada setiap orang yang lain sebanyak-banyaknya. Anjuran untuk melakukan
penyebaran agama dari setiap agam semakin memperkuat semangat bagi setiap umat
beragama untuk menyiarkan agamanya. Di dalam penyebaran agama, yang terjadi
adalah pertukaran, dialog, diskusi, tentang kebenaran masing-masing agama,
mengingat bahwa setiap orang telah mempunyai kepercayaannya sendiri terhadap
Tuhan[23].
Sesudah para
wali jawa, yang melanjutkan misi dakwah
adalah para tuan guru, charisma tuan guru terutama diperoleh sesudah mereka
menunaikan ibadah haji di Mekkah dan tinggal di sana selama dua tuhan atau lebih untuk memperdalam
agama islam[24]. Sepulangnya dari itu, tuan guru pun
mendirikan pesantren untuk mengajar penduduk di desa asalnya. Tujuan
diselenggarakannya pondok pesantren adalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran
orisinal islam sebagai mana tersurat dalam al-quran dan hadis. Tuan guru
berpandangan bahwa ajaran-ajaran murni islam di Lombok bersinar terang di
tengah-tengah kepercayaan sinkretis wetu
telu yang sangat menonjol di masa lalu, terutama abad kesembilan belas. Di mata
mereka praktek relijius wetu telu tidak memiliki akar islam sama sekali. Tuan
guru melalui pondok pesantren mereka ingin melenyapkan anasir non islam yang
melekat dalam kepercayaan wetu telu, serta mendidik orang sasak dalam
prinsip-prinsip asli praktek-praktek baku islam. Kemunculan institusi
pengajaran agama yang teroganisir (pondok pesantren) dengan jaringan sekolah
agama (madrasah) yang meluas telah menyerap banyak murid dan pengikut dari
segala penjuru. Hal ini, pada gilirannya, semakin meningkatkan pengaruh tuan
guru di seluruh Lombok[25].
Pada masa sekarang para tuan guru dan murid-muridnya
bekerja sama dengan penguasa setempat. Ini berarti tuan guru berusaha
mengkooptasi pejabat pemerintah setempat untuk melaksanakan dakwah. Tuan guru
mengakui otonomi dan kekuasaan nyaris absolute dari kepala administrative
pemerintah dalam mengontrol kehidupan wilayahnya[26].
Dakwah di masjid bisanya dilakukan melalui pengajian,
khutbah formal dan penyelenggaraan salat berjamaah. Madrasah juga menjadi pusat
aktifitas dakwah yang menyediakan pendidikan sekunder gratis bagi orang rua
yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri atau swasta.
Kiranya penting menelaah dakwah yang dilancarkan dalam bentuk pengajian,
khutbah formal dan salat berjamaah di masjid, karena hal ini akan menambah pengetahuan
kita tentang bagaimana beroperasinya lembaga-lembaga itu[27].
Problem lain yang dihadapi para da’i adalah memelihara keikutsertaan jangka
panjang partisipan dalam pengajian[28].
Tidak banyak warga masyarakat bayan yang mau mendorong anak-anak mereka untuk
mengikut pengajian[29].
Kebanyakan anak-anak wetu telu berhenti mengikuti pengajian ketika mereka
menginjak masa remaja[30].
Aktifitas dakwah juga meliputi khutbah mingguan yang diberikan bagi jamaah yang
menghadiri salat jumat di masjid[31].
Adakalanya da’i memilih topik yang berkenaan dengan praktek sehari-hari, seperti
pentingnya menjaga kebersihan sebelum melakukan salat, atau pentingnya menjaga
keutuhan salat lima waktu sehari. Tidak semua orang bayan, terutama pemeluk
wetu telu, bisa menerima isu-isu atau nilai yang disampaikan melalui khutbah[32].
Di dalam hidup bermasyarakat, antara agama dan
kebudayaan hidup dan berkembang seiring dan sejalan dengan agama. Pola-pola
dinamika yang dialami oleh keduanya juga tidak jauh berbeda. Ketika sebuah
agama tertentu masuk ke dalam suatu masyarakat, budaya atau adat istiadat yang
telah melekat seringkali sulit ditinggalkan. Budaya setempat berfungsi sebagai
filter bagi masuknya budaya maupun agam baru dari luar; demikian juga
sebaliknya agama yang telah mapan dalam sebuah masyarakat juga berfungsi
sebagai filter bagi masuknya agama maupun budaya asing. Pendek kata, antara
budaya dan agama keduanya saling menjadi filter bagi budayadan agama asing yang
masuk dalam satu komunitas masyarakat[33].
Sia-sia belaka mengharapkan wetu telu secara
subtansial mengubah budaya relijius mereka hanya melalui kiai saja. Masalahnya
para kiai bukanlah satu-satunya kelompok yang mainkan peran penting dalam
komunitas adat. Ada tokoh-tokoh adat lain seperti pemangku gubug, perumbak,
toaq local yang sangat berpengaruh dalm pelesatrian budaya relijius wetu
telu[34].
Ikatan komunitas dengan adat dan para pemimpin adat menjadi hambatan utama para
da’i dalam membuat warga wetu telu mau menerima dakwah mereka. Orang-orang wetu
telu yang mau menerima dakwah memberlakukan standar ganda. Mereka lebih patuh
kepada adat dan menerima dakwah hanya dalam pengertian sempit termasuk
kehadiran mereka yang Cuma sesekali di masjid baru ketika ada hari besar islam
dirayakan. Adat masih sangat menonjol dan berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat wetu telu Bayan. Ritus pokok Islam seperti salat lima waktu, puasa,
zakat dan menunaikan ibadah haji lebih merupakan potret para da’i dan pendatang
waktu lima ketimbang wetu telu[35].
Hingga kini populasi orang Sasak yang menganut Islam
Wetu Telu masih banyak dijumpai. Sebagian besar dari mereka tinggal di Bayan,
Lombok Utara. Lainnya tersebar di Mataram, Pujung, Sengkol, Rabitan, Sade,
Tetebatu, Sembalun Bumbung, Senaru, Loyok, dan Pasugulan[36].
E.
Dialektika Islam
dan Budaya Sasak
Agama sasak
atau lebih spesifik lagi Islam sasak merupakan cermin dari pergulatan agama
lokal atau tradisional berhadapan dengan agama dunia yang universal dalam hal
ini Islam. Seperti yang terjadi di Bayan (Lombok), Islam Wetu Telu (Islam
Lokal) yang banyak dipeluk oleh penduduk Sasak asli dianggap sebagai “tata cara
keagamaan Islam yang salah (bahkan cenderung syirik)” oleh kalangan Islam Waktu
lima, sebuah varian Islam universal yang dibawa oleh orang-orang dari daerah
lain di Lombok. Islam waktu lima sejak awal kehadirannya disengaja untuk
melakukan misi atau dakwah Islamiyah terhadap kalangan Wete Telu.[37]
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu
Telu dalam makna yang sama dengan penganut Islam abangan atau Islam Jawa
di Jawa, sebagaimana trikotomi yang diajukan Geertz, dan ditulis oleh Mark
Woodward. Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden Gedarip,
seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya satu, tidak ada
polarisasi antara waktu tiga (Wetu Telu) dan Waktu Lima. “Sebenarnya Wetu Telu
bukan agama, tetapi adat”, ucapnya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa
masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami
yang kuasa dan nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun
diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab,
kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: “Asyhadu Ingsun
sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka
sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah.
Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan
kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji”
karena diakui sudah menerima agama Islam.[38]
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya
setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat.
Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan
kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan
saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarak-jarak
kultural.
Proses komporomi kebudayaan seperti ini tentu membawa
resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali
mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang
murni. Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa
dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Sementara di pulau Lombok
dikenal dengan istilah Islam Wetu Telu.
Proses islamisasi yang berlangsung di Nusantara pada
dasarnya berada dalam proses akulturasi. Seperti telah diketahui bahwa Islam
disebarkan ke Nusantara sebagai kaedah normatif di samping aspek seni budaya.
Sementara itu, masyarakat dan budaya di mana Islam itu disosialisasikan adalah
sebuah alam empiris. Dalam konteks ini, sebagai makhluk berakal, manusia pada
dasarnya beragama dan dengan akalnya pula mereka paling mengetahui dunianya
sendiri. Pada alur logika inilah manusia, melalui perilaku budayanya senantiasa
meningkatkan aktualisasi diri. Karena itu, dalam setiap akulturasi budaya,
manusia membentuk, memanfaatkan, mengubah hal-hal paling sesuai dengan
kebutuhannya.[39]
Dalam kehidupan msyarakat penganut Islam Wetu Telu dimana dalam agamanyapun
tidak lepas dari kebudayaan yang terakulturasi dalam agama yang mereka yakini
sehingga terdapat pula ritual-ritual seperti halnya dalam ritual-ritual
kepercayaan yang ada dalam menganut Islam waktu lima. Adapun bentuk-bentuk
dialektika antara Islam dan Budaya dalam Wetu Telu tersebut yaitu:[40]
1. Adat hidup dan mati: semenejak kelahiran dan kematian
terdapat serentetan upacara-upacara. Didalam kehidupan seseorang terdapat
upacara-upacara adat sebagai berikut:
a.
Buang au, upacara dilaksanakan
menjelang seorang bayi berumur 7 hari kemudian langsung diberi nama. Seperti
halnya dalam Waktu Lima yang disebut Aqiqah.
b.
Ngurisan
dan Nyunatan, upacara dilaksanakan apabila anak-anak mencapai umur
tiga samapai enam tahun. Hal ini juga dilakukan dalam Islam.
c.
Potong
Gigi dan Ngawinan, merupakan
upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Dalam upacara
ini pemangku atau kyai menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis
remaja yang berbaring di berugak.[41]
Begitu pula dalam peristiwa kematian
banyak sekali macam upacara bahkan terjadi pengorbanan yang luar biasa karena
dianggap sebagai penghormatan terakhir pada almarhum. Kegiatan upacaranya
meliputi: penyelenggaraan jenazah seperti memandikan, megafankan, menyalatkan
dan menguburkan. Setelah keempat upacara tersebut selesai kemudian menyusul
kegiatan lainnya, berupa upacara sebagai berikut:
a.
Nelung yaitu hari
ketiga dari peristiwa kematian
b.
Mituq yaitu hari ke
tujuh dari peristiwa kematian.
c.
Nyanga yaitu hari
kesembilan dari peristiwa kematian. Pada hari ini diserahkan sebagian harta
benda almarhum kepada pihak petugas atau acara ini lazim disebut istilah
nyelawat.
d.
Pelayaran, upacara ini
dilaksanakan tiap-tiap minggu atau bulan tepat pada hari kematian sesorang.
e.
Matangpulu, nyatus dan
nyiu; masing-masing diadakan pada hari yang ke empat puluh, keseratus dan
keseribu.
2. Adat Agama
Warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual yang
berkaitan dengan hari besar Islam, seperti:[42]
a. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk
menyambut tibanya bulan puasa (Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan pada hari
pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan pada jum’at
terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri
menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan
yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena
masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah
para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh
penganut Waktu Lima.
b. Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Maleman Qunut merupakan peringatan yang
menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan
pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan Waktu Lima,
pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat witir setelah shalat
tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini kemudian Wetu Telu
menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan Maleman Likuran merupakan
upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa.
Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae,
maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat Wetu
Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang melaksanakan
shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28
dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah
maleman likuran.
c. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat
pembayaran zakat fitrah di kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu
terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan Waktu Lima.
Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing
anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai yang melaksanakan puasa
dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda.
Dalam ajaran Waktu Lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya,
zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya
dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu Telu, Pitrahnya
berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang, termasuk uang kuno, dan berlaku
baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup
Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut
Pitrah Pati.
Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan
pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam
upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan
pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.
d. Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah
upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu
melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai
pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat berakhir
dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini, ketupat menjadi
santapan ritual utama.
e. Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan
hari raya Idul Adha di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan
setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di antara para Kyai
disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan
kambing berwarna hitam.
f. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara Selametan Bubur puteq dan bubur
abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan
Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak
pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq [bubur putih] dan bubur abang
(bubur merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara
ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan laki-laki,
sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.
g. Maulud
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara
ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana
dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada
bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan Adam
dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan
dalam upacara ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Islam Wetu Telu merupakan suatu
kepercayaan masyarakat lombok. Asal usul terbentuknya Islam Wetu Telu di
bayan sampai saat ini juga masih merupakan misteri, kapan dan siapa yang
menamakannya pertama kali. Ada beberapa versi tentang latar
belakang munculnya Islam
Wetu Telu. Sebuah versi menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu
terbentuk bersamaan dengan penyebaran Islam di Lombok. Sebelum tuntas
mengajarkan Islam, penyebarnya (wali atau muridnya) dengan sebab yang
tidak diketahui meninggalkan Lombok, akibatnya masyarakat yang masih
menganut agama Hindu dan Animisme tidak sepenunhnya mampu menyerap ajaran
Islam. Maka mereka memadukan Animisme, Hindu dan Islam menjadi
satu. Perpaduan inilah yang kemudian disebut dengan Islam Wetu Telu. Sesungguhnya
penganut Islam Wetu Telu itu sebelah kakinya di Islam dan
sebelah lagi Hindu dan Animisme.
Penyebutan
istilah Wetu Telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Komunitas Waktu Lima
menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai waktu tiga (tiga:telu) dan mengaitkan makna
ini dengan reduksi seluruh ibadah Islam menjadi tiga. Orang Bayan sebagai
penganut terbesar Islam Wetu Telu ini, menyatakan bahwa wetu telu bermakna
semua makhluk hidup muncul melalui tiga macam sistem reproduksi, yaitu
melahirkan (disebut menganak), bertelur (disebut menteluk) dan berkembang biak
dari benih (disebut juga mentiuk). Sumber lain menyebutkan bahwa ungkapan Wetu
Telu berasal dari bahasa Jawa yaitu Metu Saking Telu yakni keluar atau
bersumber dari tiga hal: Al-Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran
komunitas penganut Islam Wetu Telu bersumber dari ketiga sumber tersebut.
Islam
wetu telu sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Sasak Lombok Utara
khususnya, diantaranya beberapa ritual yang ada seperti: Wet Agama, Wet
Adat, Wet Pemerintahan. Sehingga Wet Telu merupakan kearifan lokal
yang berlangsung secara turun temurun pada masyarakat Lombok Utara.
Di era ini,
Islam Wetu Telu masih tetap bertahan di daerah Lombok bagian Utara khususnya
daerah Bayan. Meskipun sudah banyak sekali para da’i yang menyebarkan dakwah
Islam di sana dari turun temurun, akan tetapi ada tokoh-tokoh adat lain seperti
pemangku gubug, perumbak, toaq local yang sangat berpengaruh dalm
pelesatrian budaya relijius wetu telu.
Dialektika
Islam dan Budaya Sasak meliputi beberapa hal seperti: Adat hidup dan mati terdapat upacara-upacara
adat sebagai berikut: Buang au (Aqiqah dalam Islam Waktu Lima), Ngurisan dan
Nyunatan, Potong Gigi dan Ngawinan. Peristiwa kematian
penyelenggaraan jenazah seperti memandikan, megafankan, menyalatkan dan
menguburkan. Dilanjutkan dengan upacara Nelung, Mituq, Nyanga, Pelayaran,
Matangpulu, nyatus dan nyiu (diadakan pada hari yang ke empat puluh,
keseratus dan keseribu). Adat Agama (Rowah Wulan dan Sampet Jum’at,
Maleman Qunut dan Maleman Likuran, Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi, Lebaran
Topat, Lebaran Pendek, Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang,
Maulud)
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanudin. 2007. Agama dalam Kehidupan
Manusia, Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Budiwanti, Erni. 2000. Islam
Sasak. Wetu telu versus waktu lima. Yogyakarta:
LKiS
Edelwish. Islam Wetu Telu. http://agyuz.student.umm.ac.id/2010/08/26/islam-wetu-telu/ diakses pada 18 Mei 2012
Khadziq. 2009. Islam Dan
Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat. Yogyakarta:
Teras
Muhaimin dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta:
Kencana
Praharsini, Dining Martha. 2009. Materi
Pokok Wetu Telu dalam Sudut Pandang Teologi Trias
Politika Kajian di Kabupaten Lombok Utara,
makalah untuk LKTI
Kebudayaan tingkat SMA. Lombok: SMA 1 Tanjung,
Rasmianto.
2009. Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat
dalam Tradisi Islam Wetu Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2. Malang: UIN
Malang
http://wikipedia.islam-sasak.com diakses pada 14 Mei 2012 pukul 08.00 WIB
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/11/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-b/ayan-lombok-utara/ diakses pada 18 Mei 2012
http://nusantaraislam.blogspot.com/2011/06/pergumulan-islam-dan-budaya-sasak.html
diakses 20 Mei 2012
[1]
Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam
Masyarakat, (Yogyakarta: Teras, 2009), 42-43.
[2] Rasmianto,
Interrelasi
Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu Telu di Lombok.
Jurnal el-Harakah, Vol.
11, No. 2, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 138
[5]
Edelwish, Islam Wetu Telu
[6]
Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan
Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007), hal: 61.
[12] http://nusantaraislam.blogspot.com/2011/06/pergumulan-islam-dan-budaya-sasak.html diakses pada 20 Mei 2012
[13]
Rasmianto, el-Harakah, Vol.11, No. 2, Tahun 2009.
[14]
Rasmianto, el-Harakah, Vol.11, No. 2, Tahun 2009.
[15]
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/11/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-bayan-lombok-utara/.
[16]
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/11/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-bayan-lombok-utara/.
[17]
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/11/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-bayan-lombok-utara/.
[18]
http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/11/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-bayan-lombok-utara/.
[20]
Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005),
53-54.
[21] Dining Martha Praharsini,
Materi Pokok Wetu Telu dalam Sudut
Pandang Teologi Trias Politika Kajian di Kabupaten Lombok
Utara, makalah untuk LKTI Kebudayaan tingkat SMA, (Lombok: SMA 1 Tanjung, 2009), hal. 5-14
[23]Khadziq,
Islam dan Budaya
Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama dalam
Masyarakat, (Yogyakarta: Teras, 2009), 94-95.
[33]Khadziq,
Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Teras, 2009), 97.
[36]
http://id.wikipedia.org/wiki/Sembahyang_Waktu_Telu.
[38] http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html diakses 20 Mei 2012
[39] http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html diakses 20 Mei 2012
[40] Rasmianto, Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat
dalam Tradisi Islam Wetu Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2,
(Malang: UIN Malang, 2009), hal. 146
[41]
http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html diakses 20 Mei 2012
[42]
http://as-salafiyyah.blogspot.com/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html diakses 20 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar